Notification

×

Iklan

Iklan

Pemanfaatan Tenun Ikat Sebagai Produk Wisata Dalam Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Lokal di Desa Nuaone, Kecamatan Kelimutu

Rabu, 21 Juni 2023 | 12:33 PM WIB | Di Baca 0 Kali Last Updated 2023-06-21T04:33:26Z

 

Tenun Ikat asal Ende. (Foto:Istimewa)

Ende,Timorexotic.com||  Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang memiliki keanekaragaman dan warisan budaya yang bernilai tinggi dan mencerminkan budaya bangsa. Salah satu warisan budaya itu adalah tenun. Tenun merupakan salah satu keanekaragaman budaya yang harus dilestarikan karena dapat memperkaya ciri khas bangsa Indonesia dengan motif dan coraknya yang beranekaragam. Negara Indonesia telah dikenal diantara negara-negara di dunia yang memiliki suatu kerukunan hidup serta kaya akan budaya yang memiliki nilai estetika tinggi. 


Hasil kerajinan yang dihasilkan masyarakat Nusa Tenggara Timur pada mulanya bersumber pada kepercayaan turun temurun dan menjadi tradisi yang tidak ditinggalkan. Kerajinan tenun ikat merupakan kerajinan tenun  tertua di Nusa Tenggara Timur, kerajinan ini dimulai sejak jaman Nheolitikum. Salah satu daerah yang menghasilkan kain tenun adalah Kabupaten Ende. Desa Nuaone, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende merupakan penghasil kain tenun ikat, berbagai tenun ikat yang unik banyak dihasilkan di desa ini.


Keragaman motif kain tenun Ende bukan hanya kreasi seni tetapi pembuatannya juga mempertimbangkan simbol, status, budaya dan ekonomi bahkan ada beberapa motif tertentu yang pembuatannya melalui perenungan dan konsentrasi, motif dan ragam hiasnya mengandung nilai filosofis, penggunaanya diperuntukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, serta menjadikannya sebagai tradisi yang terwarisi sampai hari ini.



Pada tahun 2018 Balai Taman Nasional Kelimutu memberikan bantuan terhadap Desa Nuaone dalam membentuk Kelompok Tenun Ikat Lawo Luja, dikarenakan Desa Nuaone merupakan salah satu desa penyangga yang terletak di sekitar Kawasan Taman Nasional Kelimutu ( Balai Taman Nasional Kelimutu:2018). Sebelum kelompok tenun ini dibentuk, kondisi sosial ekonomi masyarakat terbilang masih sangat jauh dari kata sejahtera, karena dulu masyarakat Desa Nuaone bertahan hidup dari hasil pertanian saja dan mereka bercocok tanam hanya sekali dalam setahun karena mengandalkan curah hujan sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya saja masih sangat sulit bagi mereka, mayoritas penduduk desa yang merupakan petani mengharuskan mereka untuk mencari pekerjaan sampingan, para pemuda memiliki perkerjaan sampingan sebagai pemandu wisata, dan para perempuan yang memiliki keterampilan menenun, mereka menjual hasil tenunnya langsung di rumah mereka dan para suami atau kepala keluarga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pembuat pernak-pernik yang di pasarkan langsung di rumah mereka.


Pembuatan produk wisata ini melewati sejumlah tahapan yang memakan waktu hingga berbulan-bulan, dilakukan secara tradisional dan manual serta menuntut ketekunan dan kesabaran tinggi, pembuatan tenun ikat ini juga memiliki banyak keunikan karena masih lekat dengan adat istiadat masyarakat Kabupaten Ende, yang juga berkaitan dengan hal-hal yang berbau mistis dan gaib. Selain itu, kerajinan tenun ikat yang dibuat oleh wanita-wanita penenun di Ende masih menggunakan bahan organik, baik untuk bahan pembuatan benang maupun bahan pewarnaan, sehingga warna kain tenun sangat alami dan memiliki keindahan yang berbeda dengan warna yang dihasilkan oleh bahan kimia. Satu helai kain tenun dapat diselesaikan dalam waktu paling singkat tiga hingga empat bulan. 



Tenun ikat Ende memiliki tiga warna utama yang sesuai dengan warna danau Kelimutu, yaitu putih, biru, dan merah. Keunikan dari setiap daerah terletak pada perbedaan motif kain yang dihasilkan. Terdapat lebih dari 20 jenis kain tenun ikat tradisional dari Kabupaten Ende. Diantaranya samba ( Kabupaten Ende), Lawo Nepa Mite, Lawo Te’a, Senai, Lawo Manu, Mata Rote, Lawo Mberhe Arhe/Bele Kale, Lawo Mata Anggo, Lawo One Mesa, Lawo Pea Kanga, Lawo Jara, Lawo Gama Tera Esa, Lawo Mata Sinde, Lawo Kelimara, Lawo Mangga, Luka/Ragi. 



Selain itu, kegiatan tenun ini hanya dilakukan oleh wanita-wanita yang tinggal di pedesaan, dan merupakan akar dari tradisi masyarakat Ende. Namun, tidak semua wanita pada satu desa dapat melakukan kegiatan tenun. Karena hal itulah, kain tenun ikat khas Ende menjadi lebih istimewa. Di setiap bulan biasanya pengrajin menghasilkan satu lembar kain dengan modal awal, yakni sekitar Rp250.000 untuk modal kain berbahan dasar benang sintetis (kimia). Untuk harga kain tenun biasanya bervariasi, berkisar mulai dari Rp450.000 sampai dengan jutaan rupiah untuk harga kain yang berbahan yang berbahan benang dengan pewarnaan alami. 


Sebenarnya, pemberian variasi harga terhadap kain tenun tergantung dari motif, kain, jenis bahan benang, dan ukuran kain. Namun, biasanya harga tersebut bisa saja sewaktu-waktu akan berubah apabilah pengrajin menjual hasil tenunnya dengan metode “titip barang” galeri tenun yang di adakan di Museum Ende. Harga tersebut, berlaku hanya ketika wisatawan datang langsung membeli tenunan tersebut dari pihak pertama, yakni pengrajin. 


Dengan cara menenun masyarakat Desa Nuaone dapat meningkatkan perekonomian melalui penjualan hasil tenunan mereka tanpa harus mengandalkan hasil panen dalam setahun.

Keistimewaan dalam tenun ikat Ende seperti nilai simbolik kehidupan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, baik dalam hubungan secara vertikal maupun horizontal, nilai-nilai yang terkandung seperti nilai sosial, religi, ekonomi, dan estetika. Kain tenun banyak digunakan dalam upcara-upacara adat seperti kelahiran, perkawinan, atau pun kematian, bahkan lambing dan warnanya telah disesuaikan. Nilai ekonomi, sebagai alat pertukaran (Barter), nilai religi, ragam hias yang diterapkan mengandung unsur perlembagaan yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama tertentu.


Penulis : DEMENTRIAS PUTRI RANI 

×
Berita Terbaru Update