![]() |
Opini : Armindo Melkianus Atok |
Ketika perusahaan media digital berlomba-lomba mengejar trafik dan impresi demi pemasukan iklan, kebutuhan akan produksi konten menjadi tidak seimbang dengan sumber daya yang tersedia. Maka muncullah jalan pintas: menyalin berita dari media lain, mengubah judul, menambahkan satu-dua paragraf, lalu tayang. Tidak perlu reporter, tidak perlu riset, cukup modal agregasi dan algoritma. Inilah wajah baru industri yang digerakkan bukan oleh etika jurnalistik, tapi oleh logika kapital. Yang lebih ironis, dalam lanskap ini, media besar dan korporasi digital menjadi pemegang kuasa. Konten yang mereka hasilkan, meskipun tetap memiliki nilai jurnalistik, akan disalin berulang kali oleh media yang lebih kecil dan tidak memiliki kapasitas produksi. Akibatnya, terjadi ketimpangan nilai tambah: yang menginvestasikan sumber daya untuk liputan justru tidak selalu mendapatkan eksposur atau keuntungan maksimal, sementara media kloning justru ikut menikmati limpahan trafik.
Dampaknya? Degradasi kualitas informasi, hilangnya konteks, dan publik yang dicekoki informasi seragam dari berbagai kanal. Di sisi lain, para jurnalis profesional semakin terpinggirkan karena media tempat mereka bekerja tak mampu bersaing dengan banjir konten murah dari hasil kloning. Hal ini dilihat sebagai bentuk ekstrim dari komodifikasi informasi. Informasi bukan lagi ruang publik untuk refleksi kritis atau kontrol sosial, melainkan sekadar produk yang bisa digandakan dan dijual kembali. Dalam kerangka ekonomi politik, ini adalah bentuk nyata bagaimana kapitalisme digital membentuk ulang nilai dan etika dalam dunia jurnalistik. Dalam ha ini, praktik cloning journalism yang dimaksudkan adalah kerja wartawan atau pekerja media baru yang mencomot berita dari konten video pengguna media social yang terdapat pada platform digital seperti, facebook, instagram, twitter, dan tik-tok. Lalu, apakah cloning journalism ini bisa dibendung? Sulit. Selama sistem platform digital masih memberi insentif pada jumlah klik, selama algoritma mesin pencari dan media sosial masih memprioritaskan kecepatan dan kuantitas, praktik ini akan terus berjalan. Dibutuhkan regulasi yang tegas dan kesadaran kolektif, baik dari pelaku media maupun pembaca, untuk kembali menempatkan kualitas dan orisinalitas sebagai fondasi utama jurnalisme. Karena kalau tidak, kita hanya akan jadi penonton pasif dari panggung informasi yang makin hari makin dikendalikan oleh kekuatan ekonomi, bukan oleh semangat jurnalistik.
Jadi praktik cloning journalism merupakan cerminan dari bagaimana industri media saat ini semakin tunduk pada logika kapitalisme digital. Di balik efisiensi dan kecepatan yang ditawarkan, tersembunyi persoalan serius terkait etika, kualitas, dan keadilan dalam produksi informasi. Ketika konten jurnalisme diambil secara mentah dari media lain atau bahkan dari platform media sosial tanpa verifikasi dan kontribusi orisinal, maka yang terjadi bukanlah demokratisasi informasi, melainkan reproduksi massal informasi yang banal dan homogen. Dalam kerangka ekonomi politik, praktik ini memperjelas bagaimana relasi kuasa, kepemilikan media, dan dorongan ekonomi menjadi aktor utama dalam membentuk lanskap jurnalisme hari ini. Jika tidak ada intervensi yang tegas, baik dari regulasi maupun dari kesadaran kritis masyarakat, maka jurnalisme yang sejatinya berfungsi sebagai ruang refleksi dan kontrol sosial akan tergantikan oleh model produksi informasi yang dangkal, instan, dan dikendalikan algoritma.