(Oleh: Costa Ironi) |
Hujan baru saja reda. Untuk kesekian harinya, hujan mengguyur desa ini. Pucuk-pucuk baru mulai bermekaran di setiap sudut desa ini. Rinai berjatuhan dari pucuk-pucuk baru menambah keelokan dan keasriannya. Musim tanam sudah tiba. Petani-petani mulai menanam jagung di ladang mereka. Entah nanti seperti apa pertumbuhan dan perkembangannya “Kami menanam”. Bisik mereka. Rinai yang berjatuhan memberi semangat untuk kaki melangkah dan tangan terus menenun.
Begitulah kisah orang-orang di desa ini pada sebagian perjalanan dari Desember ini. Rintik hujan berjatuhan membasahi jagad dari sebagianmu. Rinai yang berjatuhan dari dedaunan basah mengingatkan kita pada sebagian asa yang pernah bermekaran. Mimpi, optimisme, harapan, dan kepercayaan diri sebagian kata dari asa itu. Rinaimu yang datang sempat memastikan bahwa ada asa di alam ketika manusia tidak lagi cukup untuk dipercayai. Tohh... orang seperti Jokowi aja bisa mengecewakan di akhir-akhir masa jabatannya. Apa lagi orang-orang di desaku sendiri.
Padahal... di tengah perjalanan kenang-kenangan ini, kami telah membulatkan tekad untuk berpijak pada tanah yang darinya kelahiran dan kehidupan baru selalu bermekaran. Maka, kendatipun ada kegersangan dan kekeringan. Masyarakat desa selalu menderita dahaga. Tanah itu selalu melahirkan kerinduan bagi kaki yang lelah berlangkah di negeri nun jauh dan tangan yang tak lelah menenun benang-benang asing. Kerinduan ini adalah sebuah keprihatinan dan sebuah air mata perkabungan. Orang-orang di desaku telah “mati rasa”. Perjalanan melintasi alun-alun desa senja tadi membuatku menyesali memori setahun silam.
Senja Yang Suram
Untuk menyusuri keseluruhan desa ini, kamu tidak memerlukan berhari-hari waktunya. Cukup sehari, itu pun andaikata kamu menyisiri dan menyusurinya di dalam komedi. Konon, setiap gelagak tawa adalah undangan untuk mengambil dan merayakan momentum jeda. Kita berhenti sejenak untuk berpetualang di dalam angan dan rehat. Biarkanlah semuanya kembali pada dirinya sendiri. Konon di situ, terjadi dan tercipta yang namanya kemurnian atau purifikasi. Apalagi komedi itu dibangun di atas tangisan dan luka. Demikian bahasa yang cukup representatif atas remang-remang sore ini.
Kita sudah sampai pada setengah perjalanan dari pengembaraan melintasi seluruh seluk-beluk desa ini. Entah apa yang kamu bayangkan ketika melewati setiap lorong dari desa ini? Aku membayangkan rinai yang berjatuhan kemarin dan senja yang suram di puncak bukit Tamkesi. Dia sendiri hanya membayangkan nasib dari berbagai anggaran yang sudah dihabiskan untuk membeli dan mengerjakan proyek ini. Sebuah penglihatan yang sederhana. Di sepanjang perjalanan, dia melihat banyak jalur pipa air melintasi setiap jalur desa ini.
Konon, diceritakan bahwa setiap pipa ini mengarah pada rumah-rumah warga. Artinya, di dalam perjalanan desa ini, pernah diupayakan agar seluruh masyarakat desa ini menikmati dan merasakan kesegaran dan kehijauan. Artinya, kita yang berjalan menyisiri dan menyusuri lorong desa ini akan menjumpat banyak mata air. Kita tidak akan pernah menderita kehampaan akibat cekikan dahaga. Pipa-pipa ini dibeli dengan mengorbankan sekian banyak rupiah.
Namun quo vadis aquam? Ke manakah air itu? Yang kita jumpai sampai sore hari ini bahwa di setiap lorong-lorong berlalu-lalang berbagai tengki pembawa air. Air bersih pun dibeli oleh mayoritas masyarakat di desa ini. Sebuah kenyataan ironis yang mesti ditanggung. Bisa dibayangkan respon seperti apa seorang pengembaran baru ketika memasuki gerbang desa ini. Ia akan sangat bersyukur sekali bahwa setiap beluk desa ini dilawati air besih.
Namun. Soalnya lain ketika ia masuk dan menyisiri lorong-lorong desa ini. Bisa diyakini bahwa, ia akan kembali dan mengumumkan untuk setiap pengembara agar berhenti menyisiri lorong desa ini, karena kamu akan menderita dahaga yang tak bertepi sampai sosok ratu adil datang. Sosok pembebas dalam mitologi Jawa. Ia akan membebaskan manusia dari penderitaan yang tidak bertepi. Namun, pertanyaannya sampai kapankah kita terus menantikan sosok pembebas itu. Bukankah dalam kehidupan berdemokrasi, kita bisa memilih dan menentukan sosok ratu adil itu. Salah satu indikator untuk menilai itu adalah melihat rekan jejak dan latar belakang.
Senja yang suram. Warna mentari tidak lagi jingga. Ia berwarna abu-abu. Di dalam warna itu, dominannya adalah hitam. Sebuah penanda dari pengharapan yang sia-sia selama setahun ini. Di dalam kenyataan seperti ini, estetika abu-abu diharamkan. Potret dalam diri para aparatur desa harus dilihat dengan kaca mata hitam di atas putih atau mutlak baik dan mutlak buruk. Haram kita mengidealkan sosok-sosok yang hanya melahirkan proyek egoistis dan narsistis. Pipa-pipa karat yang melewati setiap lorong desa ini menjadi bahasa bisu untuk kenyataan ini.
Setahun Berlalu Tanpa Membekas
Saya lupa kapan harapan dan utopia itu dimekarkan. Namun, musyawarah setahun kemarin kemungkinan besar menjadi tongak baru merekahnya harapan itu. Menurut rumor, di situ dan waktu itu, orang-orang desa ini berkumpul di alun-alun desa untuk memutuskan sosok nahkoda yang akan membawa desa ini melayari samudera kehidupan yang tidak sepenuhnya tenang. Gelombanga kadang datang dan di luar dugaan manusia. Hanya sosok yang yang mau meninggalkan kepentingan dirinya dan kepentingan keluarganya, diyakini mampu mejaga kemudi dan membawa semua masyarakat pada pelabuhan berikutnya.
Ideal di atas tentu dapat membawa kita untuk meneropong dan mempotret seberapa jauh sosok yang sempat diyakini sebagai nahkoda bergerak dalam aras ini. Pekan lalu, sempat termuat di koran Manuksaen Post visi dan misi sosok itu. Satu yang saya saya masih ingat yakni bersama memajukan kesejahteraan masyarakat desa. Menyimpulkan perjalanan seharian ini, salah satu fasilitas yang dapat menunjang mimpi itu adalah tersedianya air bersih bagi semua masyarakat. Setahun sudah, ia menahkodai. Namun, desa ini belum selangkah lebih maju. Kita masih tetap bersandar pada pelabuhan ini. Kita belum menemukan adanya perbakan dan perubahan yang cukup signifikan. Kemungkinan besar dari fakta semacam ini kita bisa menyimpulkan bahwa kerinduan akan air sama nilainya dengan kerinduan akan seorang sosok-sosok yang benar-benar memanifestasikan karisma dan spiritualitas “ratu adil”.
Toh di ujung perjalanan ini, biarlah orang-orang di desaku belajar bahwa nurani itu mahal. Sekali kamu menggadaikannya dengan rupiah dan beras, kekeringan semacam ini yang akan diderita. Setidaknya dari perjalanan setahun ini, kita bisa menyaksikan dan bahkan mengalami sendiri bayaran mahal terhadap suara hati yang dikorbankan. Kita sedang berada di tahun politik, kembangkan ketajaman hati nurani dengan mencerna sebaik mungkin, sosok atau kefiguran dari para calon legislator dan para calon presiden dan calon wakil presiden. Suara hati..**