Notification

×

Iklan

Iklan

Komersialisasi Pendidikan dan Kini Bentuknya

Minggu, 26 Februari 2023 | 11:01 AM WIB | Di Baca 0 Kali Last Updated 2023-02-26T03:02:25Z

 

Yefri Elu: Penulis Opini 
Tahun 1945, Indonesia dan Jepang sama-sama membangun negara mulai dari nol. Indonesia merupakan negara yang baru lahir dan Jepang merupakan negara yang baru kalah perang. Namun setelah 75 tahun berlalu, nasib kedua negara berbeda jauh. Jepang menjadi negara maju, sedang Indonesia bahkan menjadi negara industri saja belum kesampaian. Padahal kedua negara sama-sama start tahun 1945.


Ketika Jepang kalah perang, Kaisar Hirohito langsung memanggil jajaran pejabat tinggi di sekitarannya. Kaisar kemudian menanyakan tiga pertanyaan. Pertama “berapa jumlah dokter?”, kedua “berapa jumlah hakim?”, Ketiga “berapa jumlah guru?”.


“Berapa jumlah dokter?” Merupakan pertanyaan yang merepresentasikan fasilitas kesehatan. Ketika Jepang dijatuhi bom oleh Amerika, banyak rakyat yang terluka, sakit terkena radiasi dan lain-lain. Kaisar Hirohito menyadari dalam kondisi krisis seperti ini rakyat memerlukan fasilitas kesehatan darurat yang dapat diterima oleh semua rakyat. Penyediaan fasilitas kesehatan ini harus merata di seluruh wilayah dan harus dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu, Kaisar menanyakan jumlah dokter agar negara mencetak dokter untuk memenuhi jumlah minimum yang diperlukan seluruh Jepang. Dengan itu dokter dapat didistribusikan secepatnya ke penjuru Jepang dan dibiayai negara untuk semua rakyat Jepang.


“Berapa jumlah hakim?” Merupakan representasi dari supremasi hukum. Di tengah kondisi negara yang krisis pasca perang dunia II, kepastian hukum bagi warga negara sangat diperlukan. Kota Hiroshima dan Nagasaki yang dibom oleh Amerika merupakan kota dagang dan kota pelabuhan. Pasca pengeboman, ekonomi dan perdagangan Jepang mati total. Kebangkrutan perusahaan, rakyat kehilangan mata pencarian, pengangguran membludak memicu terjadinya perampokan, penjarahan, pembunuhan dan kriminal lainnya.


Negara sedang kalah perang, Kaisar bertekuk lutut pada negara lain, negara krisis, situasi ini membuat rakyat bertanya-tanya tentang kepastian hukum di Jepang. Oleh karena itu, Kaisar Hirohito menanyakan jumlah hakim guna mempersiapkan struktur penegak hukum dan memberi kepastian hukum kepada rakyat. Menindak semua kasus penjarahan dan kejahatan yang terjadi pada masa krisis, tidak hanya sekedar tegas namun juga dengan bijak.


“Berapa jumlah guru?” merupakan representasi pendidikan. Ketika kalah perang, Jepang tidak mempunyai jalan untuk bangkit dari krisis melainkan pendidikan. Kaisar Hirohito menginginkan negara mencetak sebanyak-banyaknya guru dan mendistribusikannya ke penjuru Jepang.


Sekolah dan fasilitas pendidikan disediakan oleh negara. Seluruh rakyat Jepang tanpa terkecuali harus sekolah, biaya sekolah pun ditanggung negara. Pendidikan Jepang pun disertai dengan semangat Kaisar untuk kebangkitan Jepang. Pendidikan Jepang yang sebelumnya berkarakter haus akan perang direstorasi menjadi berorientasi pada teknologi. Hasilnya sekarang dapat kita lihat, Jepang menjadi salah satu negara maju di bidang teknologi.


Tiga faktor ini membuat Jepang bangkit dari negara krisis kalah perang menjadi negara maju seperti sekarang. Di Indonesia tiga faktor ini diperjual belikan, sehingga negara kita tidak pernah dan tidak akan pernah maju. Padahal pada tahun 1945, kita dan Jepang sama-sama baru membenahi negara.


Mari kita resapi amanah dari para pendiri bangsa. Ki Hajar Dewantara, Moh. Hatta, Haji Omar Said Tjokroaminoto, dr. Tjipto Mangunkusumo dan para founding father kita lainnya di bidang Pendidikan telah mencita-citakan Pendidikan gratis untuk setiap warga negara Republik Indonesia. Apa yang telah mereka cita-citakan telah ditulis dalam amanah UUD 1945 tepat nya pada pasal 31, ayat 1 “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ayat 2 “setiap warga negara wajib mengikuti Pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai”. Ketika kita menjual pendidikan di Indonesia, saat itu juga telah mengkhianati amanah dari para pendiri bangsa. Selama kita mengkhianati amanah itu, selama itu pula kita tidak akan pernah menjadi negara maju.


Sejarah Komersialisasi


Awal dari penodaan terhadap cita-cita pendiri bangsa adalah saat pemerintahan Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan General Agreement on Trade Service (GATS) dengan organisasi dagang Internasional World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995. Dimana pada saat itu disepakati liberalisasi perdagangan untuk 12 komoditas, salah satu nya adalah sektor Pendidikan tinggi. Komoditas disini kita sepakati berdasar prinsip ekonomi yang dikemukakan oleh Karl Marx dan Adam Smith ialah alat untuk memperoleh kekayaan dengan dua syarat yaitu mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Artinya kesepakatan ini menyatakan bahwa Pendidikan Tinggi di Indonesia dijual dengan nilai pasar (nilai tukar) dan orientasinya adalah untuk menumpuk kekayaan penyelenggara pendidikan.


Seolah sepakat dengan pendahulunya, Presiden Ke-5 RI, Ibu Megawati Soekarno Poetri menanda tangani UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dimana dalam beberapa pasal dimuat keterlibatan masyarakat, seperti Bab I Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat pasal 9 berbunyi “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.” Kemudian Bab XIII Pendanaan Pendidikan Bagian Kesatu pasal 46 ayat 1 yang berbunyi “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. ”Dan Bab XV Peran Serta Masyarakat Bagian Kesatu pasal 54 ayat 2 berbunyi “Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan”.


Keterlibatan masyarakat yang dimaksud adalah orang tua peserta didik yang membayar uang operasional sekolah dalam bentuk apa pun –bisa berupa uang gedung maupun sumbangan kepada pihak sekolah–. Undang-undang ini merupakan legalitas penyelenggara pendidikan untuk meminta pungutan kepada orang tua peserta didik. Ini merupakan langkah komersialisasi yang lebih luas.


Secara administratif ini bukan lah pelanggaran terhadap UUD 1945, tetapi ini adalah akal-akalan terhadap tanggungjawab yang telah ditetapkan oleh UUD 1945. Keterlibatan masyarakat dalam penerapan kurikulum, evaluasi pembelajaran, Pendidikan karakter peserta didik memang diperlukan; tetapi membuat Undang-Undang yang melempar tanggungjawab dana Pendidikan ke masyarakat merupakan akal-akalan pemerintah. Pemerintah Pusat sudah tidak mau menanggung biaya Pendidikan warga negara nya, anggaran negara lebih berfokus pada membangun infrastruktur, bisnis, dan bagi-bagi proyek. Jelas pemerintah lepas tanggungjawab dalam penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah telah mengkhianati apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.


Hasil dari kebijakan ini ialah menjamur nya penyelenggara Pendidikan yang menerapkan prinsip komersil dan kapitalis. Mengapa saya sebut komersil? Karena sistem Pendidikan menjadi seperti prinsip dagang “anda bayar lebih, anda dapat lebih” dan “ada uang, ada barang”. Sekarang kian hari, kian menjamur perguruan tinggi dan sekolah dengan harga selangit, negeri maupun swasta sama saja. Alasan dari penyelenggara Pendidikan ini pastinya “anggaran dari pemerintah tidak cukup untuk menyediakan fasilitas inilah, itulah, sehingga diperlukan sumbangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan”. Lembaga Pendidikan yang berbau Islam lebih keras lagi, karena membawa-bawa dalil “sumbangan ini untuk amal jariyah kalian”.


Bentuk Komersialisasi pada Pendidikan Dasar


Penerapan prinsip komersil dan kapitalis pada dunia Pendidikan berdampak tidak sehat pada sistem Pendidikan Indonesia. Tingkat Pendidikan dasar saja, jika sekolah negeri maupun swasta menerapkan pungutan biaya masuk pada peserta didik, maka sekolah yang memiliki banyak siswa akan memiliki pemasukan yang lebih besar dari sekolah lainnya.


Sekolah yang memiliki label favorit, yang memiliki banyak peminat, bakal seenaknya menerapkan tarif tinggi untuk biaya masuk, dan tentu nya embel-embel akreditasi, sarana/prasarana, nama sekolah, dan kualitas jadi andalan sekolah saat dikritik biaya mahal. Ini akan menghambat pemerataan kualitas pendidikan, karena sekolah yang peminat dan peserta didiknya sedikit bakal mendapat pendanaan yang sedikit untuk membenahi fasilitas pendidikan.


Imbasnya akan tercipta iklim sebagai berikut: sekolah yang bagus akan mendapat banyak peserta didik, menerapkan pungutan tinggi, melengkapi fasilitas, mempercantik sekolahnya, menjadi favorit, mempromosikan sekolahnya, mendapat banyak peminat, mendapat banyak peserta didik, dan begitu terus berulang-ulang; sekolah yang biasa-biasa saja mendapat peserta didik yang sedikit, tidak dapat menerapkan pungutan biaya yang tinggi, susah melengkapi fasilitas, tidak punya predikat apa-apa, tanpa promosi besar, akhrinya kembali seperti awal, tidak mendapatkan banyak peserta didik.


Akhirnya yang favorit semakin favorit, yang tertinggal semakin tertinggal. Ini bukan hanya siklus, tetapi sudah menjadi iklim karena sifat nya yang massif dan efek domino yang dimilikinya. Dimana tanggungjawab Pemerintah terhadap pemerataan pendidikan nasional?


Belum lagi kita kaji perzonasi pendidikan. Beberapa waktu lalu kita digemparkan adanya TK di Jakarta yang harga biaya masuknya mencapai 30 juta rupiah. Pihak sekolah mengatakan itu sebanding dengan apa yang peserta didik dapatkan. Memang betul, prinsip komersil yang diterapkan itu, makin mahal makin banyak yang didapat. Uang yang dibayarkan orang tua siswa ke penyelenggara Pendidikan selain digunakan untuk membeli barang-barang dan fasilitas penunjang kegiatan Pendidikan juga diakumulasikan menjadi keuntungan kas sekolah atau Yayasan yang menaungi.


Saya ulangi sekali lagi, menjadi keuntungan, It is Capitalize. Tapi apakah itu adil bagi Pendidikan nasional. Disaat sebagian anak TK belajar di ruangan ber-AC, puluhan anak SMA di daerah terluar Indonesia harus belajar di kelas yang atap nya bocor. Disaat banyak guru honorer di daerah terpencil di Indonesia digaji dengan nilai yang jauh dari kata kemanusiaan, sebagian pihak mengambil keuntungan dari hasil jual beli pendidikan. Apakah itu adil? Dan dimanakah tanggungjawab Pemerintah yang diamanahkan oleh UUD 1945?


Bentuk Komersialisasi Perguruan Tinggi


Sektor Pendidikan Tinggi tidak kalah komersil. Jika dahulu melekat bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) itu murah karena dibiayai oleh Pemerintah, maka sekarang itu tidak berlaku karena biaya masuk Perguruan Tinggi Negeri sama mahal nya dengan Perguruan Tinggi Swasta. Ini terjadi karena UU No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 6 yang memberikan otonomi penuh pada Perguruan Tinggi untuk membuat kebijakan dalam mengelola Pendidikan di Lembaga nya. Yang dimaksud otonomi ini di sini juga termasuk penerapan biaya Pendidikan. Uang untuk terselenggaranya Pendidikan seperti uang gedung, uang laboratorium, uang kkn, biaya wifi, biaya perawatan, biaya peningkatan akreditasi, dan segala aktifitas kampus lainnya tidak lagi dibiayai negara melainkan tanggungjawab pihak Perguruan Tinggi. Tentu saja untuk memenuhi kebutuhan itu tadi, pihak Perguruan Tinggi menerapkan biaya masuk, semesteran, serta pungutan-pungutan lainnya yang mahal. Undang-Undang ini berlaku bagi semua Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta.


Pendapat saya ini mungkin dapat disangkal, karena cara Perguruan Tinggi Negeri mendapatkan uang bukan hanya dari biaya masuk dan semesteran. Ada juga dari penyewaan gedung, penyewaan ruang olahraga, penyewaan tempat ATM, koperasi, retribusi minimarket, jualan akua, jualan produk konsumsi dan pemanfaatan aset kampus lainnya.


Perguruan Tinggi Negeri yang mencari uang lewat cara yang demikian itu sudah diatur dalam bentuk Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PTN BLU) dengan dasar PP no.74 tahun 2012 dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dengan landasan hukum PP no. 4 tahun 2014. Tetapi situasi ini membuat Perguruan Tinggi lebih mirip Mall atau pasar daripada sebagai Lembaga Pendidikan. Bayangkan jika kita punya satu buah Mall, di sana kita taruh ruang kursus bersertifikat ijazah S1, kita taruh minimarket, tempat fitness, tempat sertifikasi, tempat ATM, poliklinik, papan iklan, di ruang utamanya kita adakan event-event musik sebulan sekali. Apa beda nya Mall itu dengan Perguruan Tinggi? Sama saja bukan? Ya, marwah Perguruan Tinggi tidak lebih dari sebuah Mall.


Selanjutnya kita meninjau kebijakan Uang Kuliah Tunggal di Perguruan Tinggi Negeri. Kebijakan ini dilandasi UU No. 12 tahun 2012 yang kemudian diperbaharui lewat Permendikbud No. 25 tahun 2020. Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan biaya yang dikenakan kepada mahasiswa untuk proses pembelajaran, besaran UKT ini berbeda setiap mahasiswa tergantung penghasilan orang tua.


UKT merupakan bayaran yang bersifat tunggal, artinya tidak ada pungutan lain selain UKT. UKT wajib dibayarkan mahasiswa sekali dalam satu semester. Kebijakan ini disebut sebagai subsidi silang, dimana yang miskin disubsidi oleh yang kaya. Sekilas kebijakan ini memang tidak ada masalah. Tetapi ini semakin menguatkan bahwa pendanaan Pendidikan diserahkan kepada masyarakat, dan Pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya di dunia Pendidikan. Belum lagi UKT yang mirip seperti SPP pada Perguruan Tinggi Swasta ini nilai nya semakin tahun semakin naik. Seolah-olah mereka ingin mencari keuntungan dari subsidi silang ini.**

×
Berita Terbaru Update