(Oleh: Costa Ironi YT) |
Bagi masyarakat yang mengikuti berbagai hasil rilis para Lembaga survey. Dapat dipastikan bahwa pasangan Prabowo dan Gibran memiliki elektabilitas yang tinggi. Angka elektabilitas mereka selalu bermain di kisaran angka 40 % ke atas. Padahal yang kita saksikan dalam berbagai kampanye pasangan capres dan cawapres ini hanya kebanyakan gimik dan goyang gemoy Prabowo Subianto.
Dalam berbagai ajang debat yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum, disaksikan sendiri bahwa kebanyakan pasangan capres dan cawapres ini hanya memainkan dan mengobrak-abrik sentimentalitas massa dengan berbagai gimik. Gagasan yang substantif mengenai proses pembangunan dan pembudayaan bangs aini selama lima tahun ke depan, minim kita dengar.
Namun pertanyaannya, mengapa kampanye yang minim pencerahan semacam ini malah meraih mayoritas simpati dan empati masyarakat? Pertanyaan ini dilahirkan bila kita cukup keunggulan pasangan Prabowo-Gibran dari kacamata berbagai hasil survey yang dirilis.
Pertanyaan di atas akan dilayangkan oleh masyarakat yang masih cukup waras (rasional) dan masih sempat memikirkan dan mempedulikan perjalanan dari bangsa dan negara ini ke depannya. Maka cukup rasional juga bila kita bertanya, mengapa kampanye yang minim gagasan dan substansi soal desain prospek dan progresivitas bangsa dan negara ini ke depan lebih banyak meraih simpati dan empati pemilih? Tulisan receh dan sembraut ini bermaksud merenungkan pertanyaan ini. Maka tidak salah kalua tulisan ini datang terlambat, karena tinggal sepekan lagi kita akan merayakan pesta demokrasi ini.
Aristoteles mengemukakan bahwa manusia adalah binatang yang rasional. Gagasan ini diamplifikasi ketika manusia menyadari bahwa ia adalah pusat peradaban (antroposentrisme). Signifier (petanda) dari menjadi insan yang berasional adalah kritis, refelektif, dan holisitk di dalam menyimak berbagai fenomena aktual. Signified (penanda) dari sikap dan cara pandang demikian adalah menunda untuk meyakini sebuah fakta dan gejala yang dipresentasikan di depan berbagai organ inderawi kita. Sebelum meyakini, pemeriksaan yang menyeluruh terhadap rekam jejak dan rekam kerja berbagai paslon (pasangan calon) sudah menjadi sebuah postulat sendiri. Penulis meyakini bahwa dengan melakukan demikian, bagi berbagai pemilih yang sudah memutuskan untuk memilih Prabowo dan Gibran sebagai presiden akan merenung Panjang sebelum pilihan itu dijatuhkan.
Namun kenyataan sekarang membuat kita juga untuk menunda meyakini nubuat Aristoteles di atas. Dalam kenyataannya manusia tidak sepenuhnya dikendalikan oleh rasionalitasnya. Dalam berbagai fakta social politik aktual, manusia adalah juga emosionalitasnya.
Faktum perpolitikan di atas menunjukan optimisme yang radikal terhadap peran rasionalitas sebagai jalan menuju kebahagiaan dan kemajuan. Pada akhirnya, optimisme ini menjadi fondasi dari berbagai laku politis kita. Tetapi laku politis yang monoton rasional dan minus emosionalitas akan berakhir bablas.
Para kontestan dan masyarakat menjadi korban dari kebablasan ini. Sejatinya, berbagai aktus manusia lahir dari dorongan emosional yang sifatnya spontan. Pada tataran ini, kita bisa menemukan sedikit jawab mengapa laku politis yang defeisit gagasan dan substansi dan surplus gimik plus minus orentasi ke depan lebih banyak laku di pasaran. Mengapa demikian?
Manusia Itu Juga Perasaannya
Dalam percaturannya, emosi sering dikontraskan dengan yang rasional. Bahkan pernah dieliminasi sebagai penyusun personalitas manusia. Misalnya, Aristoteles mengindentifikasi manusia sebagai makhluk yang rasional (homo rastionale). Kenyataan ini membedakan manusia dari binatang. Publilius Syrus pernah mengatakan “Orang bijak akan menguasai perasaannya, orang bodoh akan menjadi budak mereka”. Syrus hendak mengeliminasi emosi dari kehidupan sehari-hari atau membatasi pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Pengeliminasian emosionalitas akan membawa manusia pada cara hidup yang rasional. Hidup seturut pertimbangan rasional menandakan tiadanya pengaruh emosionalitas.
Perdebatan yang sama tentang emosi dan intelek seperti yang terjadi di tingkat masyarakat dikooptasi oleh psikologi. Dunia Psikologi kira-kira dari 1887 memandang emosi sebagai rasa ingin tahu dan terkadang terlalu subjektif untuk diukur. Ketika intelek dan emosi dibandingkan, kecerdasan dipandang sebagai ketiadaan emosi. P. T. Young pada 1936 menerbitkan sebuah buku berjudul Motivation of behavior menggambarkan emosi sebagai “gangguan akut individu secara keseluruhan” (hal.263), karena menjadi penyebab “kehilangan total kontrol otak” dan tidak mengandung “jejak tujuan sadar”. Teks lain menggambarkannya sebagai “tanggapan yang tidak teratur akibat kurangnya penyesuaian yang efektif”.
Memasuki tahun 1940-an, emosi mulai dipahami sebagai sesuatu yang lebih positif, yang dapat “membangkitkan, menopang, dan mengarahkan aktivitas. Eckman sendiri pada 1970 meyakini bahwa emosi sebagai sistem sinyal universal berakar pada evolusi, dan oleh karenanya diperlukan untuk memahami interaksi manusia. Daniel Goleman seorang psikolog dan ahli emotional intelligence kemudian menyebut bahwa pikiran mempunyai pusat-pusat sendiri di dalam struktur otak. Neokorteks adalah pusat yang memegang kendali pikiran rasional, sedangkan emosional dikendalikan oleh amigdala.
Ada yang menyebut bahwa amigdala merupakan bagian otak paling primitif yang dimiliki makhluk hidup. Sifat primitifnya, membantu makhluk hidup selalu waspada demi bertahan hidup. Misal, respon menghindar saat bertemu predator. Sebagai contoh seorang Ibu yang tidak bisa berenang, lalu berani melompat ke sungai lantaran anaknya tenggelam atau seorang yang berlari ketakutan karena dikejar anjing dapat melompat melewati pagar setinggi tiga meter. Mengapa Ibu dan anak itu bisa berbuat demikian? Apa yang mendorongnya? Jawabannya adalah amigdala yang menyerobot membuat keputusan sebelum neokorteks memahaminya secara jernih. Implementasi dari keputusan ini dalam praksis jauh dari pemahaman rasional manusia.
Berbagai aktus yang dikondisikan oleh dorongan emosi terkadang jauh dari pertimbangan rasionalitas. Sampai pada tataran ini, penulis meyakini bahwa emosionalitas manusia memiliki keunikannya sendiri. Keunikan ini tidak terlepas dari kedalaman relasi. Kita membayangkan saja seorang ibu mampu melompat secara spontan ke dalam arus sungai ketika melihat anaknya terseret arus tanpa ia sendiri tahu berenang. Emosi melampaui rasionalitas manusia.
Sayang bahwa kenyataan ini tampak tak diperhitungkan dalam berbagai laku politis kita. Perpoilitikan kita malah jatuh mengikuti arus filsafat, yakni semua harus bisa dipahami oleh akal sehat manusia. Akan tetapi kemudian lupa untuk memberi tempat pada rasa-perasaan manusia. Fenomena Prabowo dan Gibran hanya bermain gimik malah lebih modis dan eksotis lebih dipilih dan diminati. Kita menjadi semakin bening untuk meneropong pertanyaan yang tadi dikemukakan di atas.
Pasaran pemilu ramai dengan pembeli jualan Prabowo dan Gibran bukan karena mereka kurang dan sama sekali tidak rasional. Tetapi secara rasional kita bisa menyatakan bahwa sistem koordinasi secara biologis dalam diri manusia telah memungkinkan tercipta pilihan dan keputusan ini. Bagi saya kalian tidak salah, saya menghormati pilihanmu, tetapi saya berpikir bahwa situasi ini bukanlah state of nature-nya kita, andaikata dorongan emosional akibat terperojok dalam gimik politik ini bisa dipercerah dengan salah satu aspek lain dalam diri kita, yakni rasionalitas. Menjadi rasional berarti menunda untuk meyakini sampai selesai memeriksa dan meneropong latar belakang dari berbagai paslon. Dan untuk melakukan demikian, kita tidak harus menjadi seorang akademisi dengan berbagai predikat akademis.**
Editor: Nixon Tae