Notification

×

Iklan

Iklan

Anamnesis untuk Generasi yang Tersalibh (THE CRUCIFIED GENERATION)

Rabu, 28 Juni 2023 | 8:33 PM WIB | Di Baca 0 Kali Last Updated 2023-06-28T12:33:03Z

 

OPINI
By: Costa Ironi

”Perkenalkan Gen Z yang terdepan sudah berusia dua puluh tahunan. Dengan jumlah sebesar 72,8 juta, Gen Z hadir di lingkungan kerja dan perusahaan, dan para pemimpin tidak bisa mengabaikan mereka. Jika tidak mengenal Gen Z, risikonya adalah kita akan memperlakukan mereka seperti generasi milenial (David Stillman dan Jonah Stillman, X). 

David dan Jonah mengemukakan gagasan tersebut untuk menunjukan bahaya yang akan muncul ketika dunia lupa untuk memahami karakter dari sebuah generasi baru. Pemahaman yang salah akan berpotensi menghasilkan tindakan yang keliru dan salah. Potensi ini sangat besar ketika cara pandang kita terjebak dalam kerangkeng massa atau mayoritas. Belum lagi hal ini dipadukan dengan pemberitaan yang terus-menerus oleh media daring dan luring. Kesadaran kita pada akhirnya dibentuk.


Semenjak satu dekade terakhir kesadaran kita selalu dicecoki dengan istilah generasi milenial. Hampir dalam berbagai ajang, generasi milenial selalu diperhatikan. Gaya hidup atau kebiasaan mereka menarik untuk dilihat dan ditelaah dari berbagai sisi kehidupan. Kemunculan dan keberadaan mereka merubah pola hidup, pola kerja, dan pola sosial yang normal sejauh ini. Gadget dan platform digital menandai eksistensi generasi milenial. Terminologi milenial digunakan untuk membahasakan keberadaan dan kekhasan dari sebuah generasi (signifier).

Adam Murray mengemukakan bahwa generasi milenial merupakan generasi yang rerata kitaran tahun kelahirannya ada pada awal tahun 1980 sampai akhir 1990 . Mereka lahir, bertumbuh, dan berkembang pada saat terjadinya ledakan kecanggihan teknologi komputasi seperti jejaring sosial dan interkonektivitas. Fenomena ini tidak hanya menjadi trend, tetapi sudah menjadi komoditas sehari-hari . Prensky menggunakan istilah digital native untuk mengidentifikasikan mereka. Dengan menggunakan istilah native, Prensky merujuk pada fakta bahwa para siswa ini telah "berbicara" dengan lancar dalam bahasa komputer, gaming, manajemen dan berbagi informasi, jaringan, dan Internet .


Generasi milenial adalah petanda dari zaman ini. Mereka menjadi generasi yang berbeda dengan geneasi sebelumnya (baby boomer). Keseharian mereka dikitari oleh teknologi media digital. Mereka bermain, belajar, bersosialisasi, berorganisasi, dan beraktivitas di dalam dan melalui teknologi media digital. Dengan ungkapan yang lain bahwa mereka memukimi suatu dunia yang lain, yakni dunia digital yang tidak lain adalah dunia maya (virtual world). Pada akhirnya dunia digital sudah menjadi mode of existence dari mereka.


Belum selesai kita membahas dan mengumpas tuntas generasi ini, kita sudah dihadapkan pada generasi Z, sebuah generasi yang sepenuhnya berbeda dengan generasi milenial (Gen X).  Don Tapscot mengemukakan bahwa generasi X dikenakan pada mereka yang mengalami puncak pertumbuhan dan perkembangannya pada saat ledakan teknologi digital. Sementara generasi Z lahir dan mengalami fase-fase awal pertumbuhan dan perkembangan di tengah lautan tenologi yang seksi dan modis kecanggihan dan kemewahannya. Klasifikasi Tapscot ini menunjukan bahwa periode tahun kelahiran, situasi mundial, dan gaya hidup menjadi fondasi untuk mendefenisikan dan mendeskripsikan suatu generasi. Kedua generasi ini telah membawa kebaruan yang besar pada semua arena kehidupan manusia—sosial, budaya, ekonomi, religiositas—baik pada tataran privat maupun publik.

Namun, dunia sesaat melupakan atau sengaja melupakan bahwa ada ribuan dan jutaan orang muda yang hanya memandang perkembangan dan kemajuan seperti yang dinikmati saat ini dari jauh. Latar belakang pendidikan, situasi sosio-grafis dan antropo-grafis melatari keteralienasian mereka dari kemegahan dunia saat ini. Dikutip dari laman Unicef.org 43 juta anak di dunia tidak dapat mengakses pendidikan karena berbagai pembatasan sosial yang diterapkan demi meminimalisasi dampak penyebaran Covid-19. 


Selama masa pandemi, berbagai pemberitaan dan diskusi di media massa hanya membahas tema seputar krisis ekonomi. Kita lupa bahwa dunia kita juga sedang mengalami krisis pendidikan. Imajinasi kita terlampau jauh sampai-sampai kita lupa kepada ketertinggalan dan keterbelakangan dari sesama manusia yang lain. Sebuah konsekuensi pragmatis yang mesti diterima ketika imajinasi personal dan sosial dalam berbagai dimensi kehidupan manusia kita hanya tertuju pada yang viral. Kenyataam minus ini patut menggugat kita bagaimana kita meimajinasikan sebuah konsep solidaritas dengan mereka yang terbuang ini? Bagaimana semestinya kita berjuang untuk mereka? Elaborasi atas dua pertanyaan ini akan diawali dengan pembedahan secara filosofis dan teologis eksistensi mereka dalam imajinasi personal dan kolektif kita sebagai masyarakat dunia.

Menjadi Yang Lain dan Yang Salah

Data dari laman unicef.org yang dikemukakan tadi menunjukan bahwa banyak anak-anak yang tidak menikmati dan menggunakan keindahan dan kemewahan yang dimiliki dunia saat ini. Kenyataan seperti ini sejatinya menggugat dan mempertanyakan kembali berbagai paradigma atau etalase epistemologis yang digunakan untuk mengamati dan membahasakan sebuah fenomena. Misalkan, paradigma dasar yang digunakan untuk membahasakan fenomena orang-orang yang lahir dan bertumbuh pada saat terjadinya ledakan teknologi seperti sekarang ini. Keterpakuan kita untuk memahami demikian telah membuat kita sengaja melupakan banyak generasi sejaman. Kehidupan mereka tidak tersentuh dengan kemewahan dan kecanggihan dunia saat ini. Mereka menjadi orang lain dan tidak dihitung dalam imajinasi personal dan kolektif kita sebagai warga negara dan warga dunia.


Terminologi yang lain mengingatkan kita pada etika wajah Levinas. Dalam batang tubuh filsafat moralnya, kehadiran liyan dengan segala keliyanannya menuntut tanggapan etis, yakni tanggung jawab. Tanggapan diberikan bukan karena kekurangan atau kenestapaan yang dideritanya. Respon etis kita terhadap dia lahir pertama dan utama adalah karena ketergoncangan yang ditimbulkannya dalam diri subjek. Respons yang diberikan subjek terhadap kehadiran yang lain tidak lain adalah sebuah tanggung jawab untuk berbela rasa terhadapnya. Dengan demikian, ia tidak dapat dikategorisasikan lagi sebagai yang lain. Melainkan bahwa ia adalah aku yang lain.


Kesimpulan di atas tidak terlepas dari cara Levinas memahami dan mengonstruksi subjektivitas subjek. Bagi Levinas, keberadaan subjek adalah ada dan mengada untuk orang lain (the other). Subjek menjadi tawanan dari yang lain. Perwujudan konkret dari ketertawanan ini adalah lahirnya suatu tanggung jawab untuk mempedulikan keberadaan yang lain. Tatapan yang lain menuntut saya untuk berbela rasa terhadap nasibnya, ketersituasiannya, dan seluruh problematika kehidupannya. Subjek yang demikian telah melakukan transendensi diri, yakni keluar dari keterbatasan dirinya dan mempedulikan liyan.


Seiring bombastisnya dan bombardirnya berbagai wacana mengenai milenial, mereka yang terbuang tidak lagi hanya menjadi the other, akan tetapi telah menjadi the wrong. Jacques Ranciere menggunakan terminologi The Wrong (Prancis: le tort) untuk merujuk pada pengertian “yang salah” atau yang “tak terhitung”. Mereka adalah orang-orang yang menjadi bagian dari tatanan sosial tertentu, tetapi dianggap tidak ada dalam tatanan. Mereka dilupakan atau diasingkan dari imajinasi personal dan kolektif. Mereka tergolong sebagai “part of no part” atau bagian yang bukan bagian. Etah disengajai atau tidak, posisi mereka dalam hitungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi relatif bahkan ditiadakan.


Konsekuensi jauhnya adalah bahwa mereka menjadi generasi yang tersalib (the crucified generation). Penderitaan mereka semakin diperparah. Mereka jauh dari hitungan imajinasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya manusia. Pada akhirnya, berbagai kebijak publik baik secara politik dan ekonomi, maupun sosial dan budaya tidak akan menyasar kebutuhan riil mereka. Mereka menjadi generasi yang tersalibkan oleh negara dan dunia. Ketersituasian riil mereka jauh dari hitungan imajinasi manusia. Kenyataan ini menjadi penanda dari krisis epistemologi dewasa ini.  


Terminologi generasi milenial telah digunakan untuk mengatakan mereka yang lahir pada akhir-akhir tahun 1990-an. Pada tahun ini pun terjadi ledakan kecanggihan teknologi. Defenisi semacam ini tidak memperhitungkan kompleksitas dan kedinamisan dari kenyataan yang didefenisikan. Sebagaimana telah dikemukakan di awal bahwasannya tidak semua yang lahir pada akhir tahun 1990-an menikmati ledakan kecanggihan teknologi sebagaimana dideskripsikan. Banyak kalangan di berbagai belahan semesta ini yang  hanya mendengar dan menatap dari kejauhan kecanggihan dan kemewahan berbagai teknologi dan platform digital yang sedang menjamur saat ini. Lalu bagaimana kita membangun tanggung jawab etis sebagaimana dikemukakan oleh Levinas? 


Dunia sedang bergerak menuju kemajuan terus-menerus. Sebuah konsekuensi dari manusia yang terus berkreasi dan berinovasi. Berbagai kemajuan ini patut disyukuri dan disambut dengan genggap gempita. Kita terbantu dalam banyak hal—sosial, ekonomi, dan budaya. Namun, kenestapaan dari generasi yang tersalib patut menggugat kenyamanan kita dalam menikmati dan memanfaatkan berbagai kecanggihan dan memewahan yang dimiliki dunia saat ini. Sebuah gugatan patut mendobrak kenyamanan kita dalam berdinamika dengan kemajuan dunia saat ini, yakni bagaimana seharusnya kita mendisposisikan diri dan memposisikan liyan di dalam kenyataan yang ironis ini?

Anamnesis: Jalan Etis Mengenang dan Menghadirkan Yang Lain dan Yang Terbuang

Anamnesis merupakan istilah khas dan teknis dalam teologi Kristiani, khususnya dalam teologi ekaristi. Orang-orang Kristiani Katolik memiliki kebiasaan untuk merayakan ekaristi entah setiap hari ataupun pada hari yang dikhususkan, yakni hari minggu. Secara terminologis, ekaristi sendiri diartikan sebagai ucapan syukur (bahasa Yunani eucharistia/eucharistein: puji syukur atau mengucap syukur). Umat beriman Kristiani Katolik mengucapkan syukur atas karya keselamatan Allah yang diwujud-nyatakan dalam seluruh karya penebusan Yesus Kristus. Ketika orang-orang berima Kristiani berkumpul untuk merayakan ekaristi, perayaan tersebut bukan hanya pengenangan atau pengingatan semata, tetapi adalah juga suatu penghadiran. Anamnese memiliki makna demikian (anamnese mengingat atau mengenang). 


Anamnese dapat menjadi suatu etalase hermeneutis untuk membangun sebuah sikap welas asih atau bela rasa di hadapan kenyataan mundial yang dicirikan dengan ironi. Sebagai sebuah etalase epistemologis, kita memeras sari patinya untuk digunakan sebagai cara pandang dalam memahami fenomena yang diangkat dalam tulisan ini. Seturut kesetiaan kita pada makna semantik anamnese, penulis hendak mengemukakan bahwa kemewahan dan kecanggihan dunia saat ini patut untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk kemaslahatan kehidupan privat dan publik.


Namun, di dalam keasyikan kita mencandrai dunia dengan gadget, i-phone, dan i-pad dengan berbagai perangkatnya, perlu disadari bahwa tidak semua generasi sejaman menggunakan dan menikmati kemewahan yang ditawarkan dimiliki dunia saat ini.  Terdapat ribuan hingga jutaan manusia di belahan bumi lain yang hanya mendengar dan menatap dari kejauhan kemewahan dunia saat ini. Anamnese semacam ini dapat melahirkan sikap welas asih dan semangat keugaharian dalam mendayagunakan semua potensi ekonomis, sosial yang ada untuk kemaslahatan sendiri dan banyak orang. **


×
Berita Terbaru Update